Sabtu, 20 April 2013

Islam, Berbeda tapi Satu


Allah menciptakan siang dan malam, menciptakan matahari dan bulan, menciptakan air dan api, menciptakan manusia, menciptakan beraneka macam tumbuhan, dan berbagai jenis hewan, serta menyatukan semua ciptaan-Nya itu di tempat bernama bumi. Di bumi, mereka hidup berdampingan, saling berinteraksi, saling mengambil manfaat, menjalankan perannya masing-masing. Namun, keberagaman ini tidak serta merta akan selaras jika tidak ada kesesuaian di antara sekian jenis makhluk tersebut. Karena setiap makhluk punya kewajiban yang harus ia laksanakan untuk dirinya sendiri, serta hak yang harus ia tunaikan untuk makhluk lain yang ada di sekitarnya. Dengan bertanggung jawab atas peran masing-masing maka akan lahirlah bumi yang damai.

Pundemikian dengan manusia, Allah menciptakan manusia dengan berbagai suku, bangsa, dan bahasa. Menciptakan manusia dengan sifat dan karakter yang beranekaragam, menciptakan manusia dengan kelebihan dan keahliannya masing-masing. Itu semua agar manusia hidup di muka bumi ini saling mengenal, saling melengkapi satu sama lain, sehingga dari keberagaman tersebut lahirlah sebuah peradaban.
Keberagaman, kata itulah yang selalu kita dapati dalam keseharian, mulai dari keberagaman makhluk, keberagaman bidang ilmu, keberagaman karakter, serta keberagaman persepsi. Hingga jika kita membuka buku-buku fiqih akan kita dapati keberagaman pendapat di antara para ulama dalam menentukan hukum dari sebuah masalah furu’.

Sebenarnya, kebergaman pendapat dalam masalah furu’ telah ada sejak zaman Rasulullah saw, seperti dalam doa iftitah, ruku’, sujud, dan lainnya. Yang kemudian keberagaman itu kian bertambah ketika Rasulullah saw telah tiada. Dari keberagaman pendapat itulah lahir beberapa madzhab, dan di antara madzhab yang terkenal dan sampai kepada kita sekarang adalah Madzhab Hanafi, Maliki,Syafi’i, dan Hambali.
Setiap Imam dari ke-4 madzhab ini adalah ulama yang mengahabiskan hidupnya dengan mendalami ilmu fiqh, menelusuri hadits serta atsar Rasulullah saw, mengkaji serta menetapkan hukum dari suatu masalah. Walaupun ada beberapa dari mereka yang berada dalam satu masa yang sama, mereka tidak saling mempertentangkan, tapi saling memaklumi dan saling menerima, bahkan saling menghormati.
Hal tersebut dapat kita lihat dari  perkataan Imam Syafi’I tentang Imam Malik : “Malik adalah guruku, darinya aku mendapat ilmu, dan ia adalah hujjah antara aku dan Allah swt kelak, dan tak ada seorangpun yang lebih kupercaya daripada beliau, dan jika berbicara tentang para ulama, maka Malik adalah seperti bintang yang cahayanya paling terang.”
Juga dari perkataan Imam Ahmad tentang Imam Syafi’i : “Beliau adalah manusia yang paling menguasai kitabullah dan sunnah, tidaklah seorang yang mencoba memulai menulis tentang fiqh kecuali Imam Syafi’i telah mendahuluinya.”

Namun sayangnya, dewasa ini kita lebih sering mendapati adanya perbedaan pendapat yang mengarah pada cekcok, saling menjatuhkan, bahkan saling menghina. Padahal ulama-ulama kita terdahulu sangat jauh dari hal tersebut.
(Hmm,, mereka yang mendalami saja tidak memepermasalahkan perbedaan yang ada, lalu kenapa masih ada saja yang ‘rempong’ memepermasalahkan perbedaan dan saling menghujat dengan ilmu yang masih secuil).

Keberagaman pendapat adalah suatu hal yang lumrah, karena setiap kepala memiliki otak serta cara berpikir yang berbeda, memiliki ilmu, wawasan, serta pengalaman hidup yang berbeda. Tidak ada yang merendahkan dan merasa lebih benar dari yang lain, karena setiap pendapat yang dilontarkan itu mempunyai alasan serta dalilnya tersendiri (selama dalil yang menjadi pegangan adalah dalil yang shahih). Yang terpenting adalah bagaimana agar kita terus belajar, belajar, dan belajar. Serta menghargai beragam pendapat yang ada.

Karena di balik keberagaman itu kita adalah satu, satu dalam Iman, satu dalam Islam.