Allah menciptakan siang dan
malam, menciptakan matahari dan bulan, menciptakan air dan api, menciptakan
manusia, menciptakan beraneka macam tumbuhan, dan berbagai jenis hewan, serta
menyatukan semua ciptaan-Nya itu di tempat bernama bumi. Di bumi, mereka hidup
berdampingan, saling berinteraksi, saling mengambil manfaat, menjalankan
perannya masing-masing. Namun, keberagaman ini tidak serta merta akan selaras
jika tidak ada kesesuaian di antara sekian jenis makhluk tersebut. Karena
setiap makhluk punya kewajiban yang harus ia laksanakan untuk dirinya sendiri,
serta hak yang harus ia tunaikan untuk makhluk lain yang ada di sekitarnya.
Dengan bertanggung jawab atas peran masing-masing maka akan lahirlah bumi yang
damai.
Pundemikian dengan manusia,
Allah menciptakan manusia dengan berbagai suku, bangsa, dan bahasa. Menciptakan
manusia dengan sifat dan karakter yang beranekaragam, menciptakan manusia
dengan kelebihan dan keahliannya masing-masing. Itu semua agar manusia hidup di
muka bumi ini saling mengenal, saling melengkapi satu sama lain, sehingga dari
keberagaman tersebut lahirlah sebuah peradaban.
Keberagaman, kata itulah yang
selalu kita dapati dalam keseharian, mulai dari keberagaman makhluk,
keberagaman bidang ilmu, keberagaman karakter, serta keberagaman persepsi.
Hingga jika kita membuka buku-buku fiqih akan kita dapati keberagaman pendapat
di antara para ulama dalam menentukan hukum dari sebuah masalah furu’.
Sebenarnya, kebergaman pendapat
dalam masalah furu’ telah ada sejak zaman Rasulullah saw, seperti dalam doa
iftitah, ruku’, sujud, dan lainnya. Yang kemudian keberagaman itu kian
bertambah ketika Rasulullah saw telah tiada. Dari keberagaman pendapat itulah
lahir beberapa madzhab, dan di antara madzhab yang terkenal dan sampai kepada
kita sekarang adalah Madzhab Hanafi, Maliki,Syafi’i, dan Hambali.
Setiap Imam dari ke-4 madzhab
ini adalah ulama yang mengahabiskan hidupnya dengan mendalami ilmu fiqh,
menelusuri hadits serta atsar Rasulullah saw, mengkaji serta menetapkan hukum
dari suatu masalah. Walaupun ada beberapa dari mereka yang berada dalam satu
masa yang sama, mereka tidak saling mempertentangkan, tapi saling memaklumi dan
saling menerima, bahkan saling menghormati.
Hal tersebut dapat kita lihat
dari perkataan Imam Syafi’I tentang Imam
Malik : “Malik adalah guruku, darinya aku mendapat ilmu, dan ia adalah hujjah
antara aku dan Allah swt kelak, dan tak ada seorangpun yang lebih kupercaya
daripada beliau, dan jika berbicara tentang para ulama, maka Malik adalah seperti
bintang yang cahayanya paling terang.”
Juga dari perkataan Imam Ahmad
tentang Imam Syafi’i : “Beliau adalah manusia yang paling menguasai kitabullah
dan sunnah, tidaklah seorang yang mencoba memulai menulis tentang fiqh kecuali
Imam Syafi’i telah mendahuluinya.”
Namun sayangnya, dewasa ini
kita lebih sering mendapati adanya perbedaan pendapat yang mengarah pada
cekcok, saling menjatuhkan, bahkan saling menghina. Padahal ulama-ulama kita
terdahulu sangat jauh dari hal tersebut.
(Hmm,, mereka yang mendalami
saja tidak memepermasalahkan perbedaan yang ada, lalu kenapa masih ada saja
yang ‘rempong’ memepermasalahkan perbedaan dan saling menghujat dengan ilmu
yang masih secuil).
Keberagaman pendapat adalah
suatu hal yang lumrah, karena setiap kepala memiliki otak serta cara berpikir
yang berbeda, memiliki ilmu, wawasan, serta pengalaman hidup yang berbeda.
Tidak ada yang merendahkan dan merasa lebih benar dari yang lain, karena setiap
pendapat yang dilontarkan itu mempunyai alasan serta dalilnya tersendiri (selama
dalil yang menjadi pegangan adalah dalil yang shahih). Yang terpenting adalah
bagaimana agar kita terus belajar, belajar, dan belajar. Serta menghargai
beragam pendapat yang ada.
Karena di balik keberagaman itu
kita adalah satu, satu dalam Iman, satu dalam Islam.
0 komentar:
Posting Komentar